Senin, 14 Desember 2015

Pembelajaran Kolaboratif




A.        Pengertian Pembelajaran Kolaboratif
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1994), kolaboratif dan kooperatif diartikan sama dengan bersifat kerjasama. Dalam konteks pembelajaran Robert et. al mengatakan,  pembelajaran kolaboratif adalah pembelajaran yang asaskan koperatif. Sehingga untuk mewujudkan pembelajaran kolaboratif diawali dengan membiasakan siswa dengan pembelajaran kooperatif.  Pembelajaran kooperatif yang didisain oleh guru, akan menjadi awal perubahan di kelas.  Jika siswa terbiasa bekerjasama, saling tergantung satu dengan yang lain untuk memperoleh pengetahuan, maka siswa akan berkembang menjadi siswa-siswa kolaboratif.
Schrage (1990) menyatakan  pembelajaran kolaboratif melebihi aktivitas bekerjasama (kooperatif) karena ia melibatkan kerjasama hasil penemuan dan hasil yang didapatkan daripada sekedar pembelajaran baru. Menurut Jonassen (1996), pembelajaran kolaboratif juga dapat membantu siswa membina pengetahuan yang lebih bermakna jika dibandingkan dengan pembelajaran secara individu. Selain itu, dengan menjalankan aktivitas dan projek pembelajaran secara kolaboratif secara tidak langsung  kemahiran-kemahiran seperti bagaimana berkomunikasi akan dipelajari oleh pelajar.
Kolaboratif dapat dilakukan di dalam kumpulan yang besar maupun kumpulan yang terdiri dari empat atau lima orang pelajar. Sedangkan pembelajaran kooperatif hanya kelompok kecil pelajar yang bekerja dan memahami secara bersama.  Jadi pembelajaran koperatif adalah satu  bentuk kolaboratif, yaitu kelompok besar belajar bersama untuk mencapai hasil  yang disepakati bersama (Johnson & Johnson, 1989).
Hasil penelitian menunjukkan keunggulan pembelajaran kolaboratif, diantaranya dapat meninggikan hasil belajar kelompok dan individu yang lebih mengarah pada metakognitif, munculnya ide–ide baru  dan pendekatan penyelesaian masalah yang sebenarnya di tengahkan. Selain itu kelas yang dikelola secara kolaboratif lebih termotivasi, mempunyai sifat ingin tahu, ada perasaan membantu orang lain, berkompetisi secara sehat dan bekerja secara individu lebih terarah.

B.        Macam-macam Pembelajaran Kolaboratif
1.    Jigsaw Procedure (JP)
Metode pengajaran dengan jigsaw dikembangkan oleh Elliot Aronson dan rekan-rekannya (1978). Metode orisinilnya, secara singkat digambarkan dalam bagiam ini, membutuhkan pengembangan yang ekstensif dari materi-materi khusus.
Jigsaw dapat digunakan apabila materi yang akan dipelajari adalah yang berbentuk narasi tertulis. Metode ini paling sesuai untuk subjek-subjek seperti pelajaran ilmu sosial, literatur, sebagian pelajaran ilmu pengetahuan ilmiah, dan bidang-bidang lainnya yang tujuan pembelajaran lebih kepada penguasaan konsep  daripada penguasaan kemampuan.
Para siswa tersebut diberikan tugas untuk membaca beberapa bab atau unit, dan diberikan “lembar ahli” yang terdiri atas topik-topik yang berbeda yang harus menjadi fokus perhatian masing-masing anggota tim saat mereka membaca. Setelah semua anak selesai membaca, siswa-siswa dari tim yang berbeda yang mempunyai fokus topik yang sama bertemu dalam “kelompok ahli” untuk mendiskusikan topik mereka sekitar tiga puluh menit. Para ahli tersebut kemudian kembali kepada tim mereka dan secara bergantian mengajari teman satu timnya mengenai topik mereka. Yang terakhir adalah, para siswa menerima penilaian yang mencakup seluruh topik, dan skor kuis akan menjadi skor tim. Skor-skor yang dikontribusikan para siswa kepada timnya didasarkan pada sistem skor perkembangan individual, dan para siswa yang skornya meraih nilai tertinggi akan menerima sertifikat atau bentuk-bentuk rekognisi tim lainnya. Setiap siswa bergantung kepada teman satu timnya untuk dapat memberikan informasi yang diperlukan supaya dapat berkinerja baik pada saat penilaian.
2.    Student Team Achievement Divisions (STAD)
STAD (Student Team Achievement Divisions) merupakan salah satu metode pembelajaran kolaboratif yang paling sederhana, dan merupakan model yang paling baik untuk permulaan bagi para guru yang baru menggunakan pendekatan kooperatif.
Langkah-langkah:
1.    Membentuk kelompok yang anggotanya = 4 orang secara heterogen (campuran menurut, jenis kelamin, suku, dan lain-lain).
2.    Guru menyajikan pelajaran.
3.    Guru memberi tugas pada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota-anggota kelompok. Anggotanya yang sudah mengerti dapat menjelaskan pada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
4.    Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu.
5.    Memberi evaluasi.
6.    Kesimpulan
3.    Complex Instruction (CI)
Metode pembelajaran kolaboratif lainnya yang didasarkan pada mencari keterangan dari investigasi disebut  Complex Instruction (Cohen, 1986). Bentuk yang paling banyak digunakan dalam pendekatan ini adalah Finding Out/ Descubrimiento, sebuah program berorientasi penemuan untuk pelajaran Ilmu Pengetahuan Ilmiah di sekolah dasar yang dikembangkan oleh Edward DeAvila dan Elizabeth Cohen. Metode ini, menggunakan kelas dwi bahasa khusus, yang melibatkan para siswa dalam kelompok kecil, diberikan kegiatan-kegiatan ilmiah yang diarahkan kepada penemuan prinsip-prinsip magnetisme, suara, cahaya, dan sebagainya. Materi-materi untuk program  Finding Out/ Descubrimiento tersedia dalam bahasa Inggris dan Spanyol, supaya siswa yang menguasai satu bahasa atau dua bahasa dapat bekerja sama secara kooperatif. Sebagai tambahan terhadap pembelajaran pelajaran Ilmu Pengetahuan Ilmiah, para siswa dalam Finding Out/ Descubrimiento mengaplikasikan kemampuan matematika dalam situasi kehidupan nyata dan terlibat dalam diskusi yang terfokus yang dapat membantu mengembangkan kemampuan bahasa Inggris untuk anak-anak yang berbahasa Inggris terbatas.
4.    Team-Assisted Individualization (TAI)
Dasar pemikirannya adalah untuk mengadaptasi pengajaran terhadap perbedaan individual berkaitan dengan kemampuan siswa maupun pencapaian prestasi siswa, dan jika memang demikian, bagaimana hal ini bisa menjadi salah satu bentuk kontroversi yang paling lama terjadi dalam bidang pendidikan di Amerika. Perlunya semacam individualisasi telah dipandang penting khususnya dalam pelajaran matematika, di mana pembelajaran dari tiap kemampuan yang diajarkan sebagian besar tergantung pada penguasaan kemampuan yang dipersyaratkan.
Dasar pemikiran di balik individualisasi pengajaran pelajaran matematika adalah bahwa para siswa memasuki kelas dengan pengetahuan, kemampuan, dan motivasi yang sangat beragam. Ketika guru menyampaikan sebuah pelajaran kepada bermacam-macam kelompok, besar kemungkinan ada sebagian siswa yang tidak memiliki syarat kemampuan untuk mempelajari pelajaran tersebut, dan akan gagal memperoleh manfaat dari metode tersebut. Siswa lainnya mungkin malah sudah mengetahui materi itu, atau bisa mempelajarinya dengan sangat cepat sehingga waktu mengajar yang dihabiskan bagi mereka hanya membuang waktu.
Tinjauan terhadap penelitian mengenai pengajaran individual dalam pelajaran matematika (Miller, 1976; Schoen, 1976) secara seragam mnyimpulkan bahwa pengajar individual tidak lebih efektif dibandingkan dengan metode-metode tradisional dalam hal meningkatkan pencapaian kemampuan para siswa. Dengan munculnya biaya dan kesulitan dalam mengimplementasikan pengajaran individual, orang mungkin akan berargumentasi bahwa pendekatan ini harusnya dihapuskan saja karena tidak bisa berjalan dan tidak efektif.
Namun masalah heterogenitas para siswa, yang menjadi tujuan dari dirancangnya metode pengajaran individual ini belumlah terselesaikan. Bisa jadi, sebagai konsekuensi kebijakan-kebijakan khusus seperti mainstreaming dan penghapusan perbedaan, kelas-kelas yang akan menjadi semakin heterogen, dan bukannya sebaliknya. Kajian-kajian mengenai pengelompokkan para siswa menemukan bahwa hal ini hanya memberikan manfaat yang kecil dalam pencapaian kemampuan para siswa (Slavin, 1987)
Matematika TAI diprakarsai sebagai usaha merancang sebuah bentuk pengajaran individual yang bisa menyelesaikan masalah-masalah yang membuat metode pengajaran individual menjadi tidak efektif. Dengan membuat para siswa bekerja dalam tim-tim pembelajaran kooperatif dan mengemban tanggung jawab mengelola dan memeriksa secara rutin, saling membantu satu sama lain dalam menghadapi masalah, dan saling memberi dorongan untuk maju, maka guru dapat membebaskan diri mereka dari memberikan pengajaran langsung kepada sekelompok kecil siswa yang homogen yang berasal dari tim-tim yang heterogen.
TAI dirancang untuk memuaskann kriteria berikut ini untuk menyelesaikan masalah-masalah teoretis dan praktis dari sistem pengajaran individual:
1.    Dapat meminimalisir keterlibatan guru dalam pemeriksaan dan pengelolaan rutin.
2.    Guru setidaknya akan menghabiskan separuh dari waktunya untuk mengajar kelompok-kelompok kecil.
3.    Operasional program tersebut akan sedemikian sederhananya sehingga para siswa di kelas tiga ke atas dapat melakukannya.
4.    Para siswa akan termotivasi untuk mempelajari materi-materi yang diberikan dengan cepat dan akurat, dan tidak akan bisa berbuat curang atau menemukan jalan pintas.
5.    Tersedianya banyak cara pengecekan penguasaan supaya para siswa jarang menghabiskan waktu mempelajari kembali materi yang sudah mereka kuasai atau menghadapi kesulitan serius yang membutuhkan bantuan guru.
6.    Para siswa akan dapat melakukan pengecekan satu sama lain, sekalipun bila siswa yang mengecek kemampuannya ada di bawah siswa yang dicek dalam rangkaian pengajaran, dan prosedur pengecekan akan cukup sederhana dan tidak mengganggu pengecek.
7.    Programnya mudah dipelajari oleh guru maupun siswa, tidak mahal, fleksibel, dan tidak membutuhkan guru tambahan ataupun tim guru.
8.    Dengan membuat para siswa bekerja dalam kelompol-kelompok kooperatif, dengan status yang sejajar, program ini akan membangun kondisi untuk terbentuknya sikap-sikap positif terhadap siswa-siswa  mainstream yang cacat secara akademik dan diantara para siswa dari latar belakang ras atau etnik berbeda.
5.    Cooperative Learning Stuctures (CLS)
                    Dalam pembelajaran ini setiap kelompok dibentuk dengan anggota dua siswa (berpasangan). Seorang siswa bertindak sebagai tutor dan yang lain menjadi tutee. Tutor mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh tutee. Bila jawaban tutee benar, ia memperoleh poin atau skor yang telah ditetapkan terlebih dulu. Dalam selang waktu yang juga telah ditetapkan sebelumnya, kedua siswa yang saling berpasangan itu berganti peran.

6.    Learning Together (LT)
                 Diantara metode-metode pembelajaran kooperatif yang paling banyak digunakan adalah metode yang dikembangkan dan diteliti oleh David dan Roger Johnson beserta rekan-rekan mereka di University of Minnesota. Metode-metode mereka menekankan pada empat unsur (Johnson, Johnson, Holubec, dan Roy, 1984), antara lain:
1.    Interaksi tatap muka: Para siswa belajar dalam kelompok-kelompok yang beranggotakan emapat sampai lima orang.
2.    Interdependensi positif: Para siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan kelompok.
3.    Tanggung jawab individual: Para siswa harus memperlihatkan bahwa mereka secara individual telah menguasai materinya.
4.    Kemampuan-kemampuan interpersonal dan kelompok kecil: Para siswa diajari mengenai sarana-sarana yang efektif untuk bekerja sama dan mendiskusikan seberapa baik kelompok mereka bekerja dalam mencapai tujuan mereka.
                 Dalam hal penggunaan kelompok pembelajran heterogen dan penekanan terhadap interdependensi positif, serta tanggung jawab individual metode-metode Johnson ini sama dengan STAD. Akan tetapi, mereka juga menyoroti perihal pembangunan kelompok dan menilai sendiri kinerja kelompok, dan merekomendasikan penggunaan penilaian tim ketimbang pemberian sertifkat atau bentuk rekognisi lainnya.
                 Penelitian mengenai metode-metode ini telah menemukan bahwa untuk penghargaan yang diberikan kepada kelompok didasarkan pada pembelajaran individual setiap anggota kelompok, mereka meningkatkan pencapaian siswa leboh dari metode-metode individualistik dan memiliki pengaruh positif pada hasil yang dikeluarkan, seperti pada masalah hubungan ras dan penerimaan teman sekelas yang memiliki masalah cacat akademik.
                 Johnson bersaudara dan rekan-rekannya juga telah mengembangkan dan meneliti metode-metode untuk melibatkan siswa dalam “kontroversi kooperatif”. Para siswa dalam kelompok-kelompok yang beranggotakan empat orang diberikan materi pelajaran mengenai sebuah isu yang kontroversial, seperti apakah perburuan serigala harus diizinkan di bagian utara Minnesota. Dua anggota kelompok mengerjakan satu sisi dari isu tersebut, sedangkan dua lainnya mengerjakan sisi lainnya. Kemudian mereka bertukar peran dan memperdebatkan sisi yang berlawanan. Akhirnya seluruh kelas mencapai kesepakatan. Para siswa harus mengikuti tujuh aturan saat bekerja (Smith, Johnson 1981):
1)   Saya kritis terhadap gagasan, bukan orang.
2)   Saya ingat bahwa kami semua melakukan hal ini bersama.
3)   Saya mendorong semua orang untuk ikut berpartisipasi.
4)   Saya mendengarkan gagasan yang dilontarkan setiap orang, sekalipun saya tidak setuju dengan mereka.
5)   Saya mengulang kembali apa yang dikatakan oleh seseorang apabila memang tidak jeals.
6)   Saya mencoba memahami kedua belah sisi dari isu tersebut.
7)   Pertama-tama saya akan mengeluarkan semua gagasan, baru kemudian saya kumpulkan jadi satu
7.    Teams-Games-Tournament (TGT)
Secara umum TGT sama saja dengan STAD, kecuali satu hal: TGT menggunakan turnamen akademik, dan menggunakan kuis-kuis dan sistem skor kemajuan individu, di mana para siswa berlomba sebagai wakil tim mereka dengan anggota tim lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti mereka. TGT sangat sering digunakan dengan STAD, dengan menambahkan turnamen tertentu pada struktur STAD yang biasanya, Deskripsi dan komponen-komponen TGT adalah sebagai berikut:
1.    Presentasi di kelas
2.    Tim
3.    Game, gamenya terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang kontennya relevan  yang dirancang untuk menguji pengetahuan siswa yang diperolehnya dari presentasi di kelas dan pelaksanaan kerja tim.
4.    Turnamen, turnamen adalah sebuah struktur di mana game berlangsung.
5.    Rekognisi tim, pemberian penghargaan untuk pencapaian sampai pada tim sangat baik atau tim super.
8.    Group Investigation (GI)
Pembelajaran dengan metode group investigation  dimulai dengan pembagian kelompok. Selanjutnya guru dan peserta didik memilih topik-topik tertentu dengan permasalahan-permasalahan yang dapat dikembangkan dari topik-topik itu. Sesudah topik dan permasalahannya disepakati, peserta didik dan guru menentukan metode penelitian yang dikembangkan untuk memecahkan masalah.
Setiap kelompok bekerja berdasarkan metode investigasi yang telah mereka rumuskan. Aktivitas tersebut merupakan kegiatan sistemik keilmuan mulai dari mengumpulkan data, analisis data, sintesis, hingga menarik kesimpulan.
Langkah berikutnya adalah presentasi hasil oleh masing-masing kelompok. Pada tahap ini diharapkan terjadi intersubjektif dan objektivikasi pengetahuan yang telah dibangun suatu kelompok. Berbagai perspektif diharapkan dapat dikembangkan oleh seluruh kelas atas hasil yang dipresentasikan oleh suatu kelompok. Seharusnya di akhir pembelajaran dilakukan evaluasi. Evaluasi dapat memasukkan assesmen individual atau kelompok.
9.    Academic-Constructive Controversy (AC)
     Setiap anggota kelompok dituntut kemampuannya untuk berada dalam situasi konflik intelektual yang dikembangkan berdasarkan hasil belajar masing-masing, baik bersama anggota sekelompok maupun dengan anggota kelompok lain. Kegiatan pembelajaran ini mengutamakan pencapaian dan pengembangan kualitas pemecahan masalah, pemikiran kritis, pertimbangan, hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan keselarasan. Penilaian didasarkan pada kemampuan setiap anggota maupun kelompok mempertahankan posisi yang dipilihnya.
10.  Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC)
    Walaupun metode pembelajaran telah digunakan oleh berbagai mata pelajaran, namun terdapat dua mata pelajaran sekolah dasar yang tidak tersentuh oleh penelitian Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) ini, mata pelajaran tersebut ialah membaca dan menulis, sebuah program yang komprehensif untuk mengajari pelajaran membaca, menulis, dan seni berbahasa para kelas yang lebih tinggi di sekolah dasar. Pendekatan pembelajaran kooperatif mengikuti penemuan pada penelitian sebelumnya, menekankan tujuan-tujuan kelompok dan tanggug jawab individual. Penelitian terhadap TAI, juga telah menunjukkan bahwa kombinasi yang menggunakan kelompok pengajaran homogen dan kelompok heterogen bisa bersifat praktis sekaligus juga efektif.
     Sebagai tambahan, pengembangan CIRC dihasilkan dari sebuah analisis masalah-masalah tradisional dalam pengajaran pelajaran membaca, menulis, seni berbahasa. Isu-isu prinsipil yang ditujukan dalam proses pengembangan dibahas sebagai berikut:
·      Tindak Lanjut
               Sebuah fitur yang bersifat hampir selalu universal dari pengajaran membaca adalah penggunaan kelompok membaca yang terdiri atas para siswa dengan tingkat kinerja yang sama (Hiebert, 1983). Akan tetapi penggunaan kelompok membaca menimbulkan sebuah masalah: Apabila guru sedang mengajarkan satu kelompok membaca, siswa-siswa lain di dalam kelas tersebut harus diberikan kegiatan-kegiatan yang dapat mereka selesaikan dengan sedikit pengarahan guru, ini disebut sebagai penelitian “tindak lanjut”.
·      Membaca Lisan
               Membaca dengan keras merupakan bagian yang menjadi standar dari sebagian besar program-program membaca. Penelitian terhadap membaca lisan mengindikasikan bahwa ini memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan pesan dan pemahaman (Dahl, 1979; Samuels, 1979), barangkali karena hal ini dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk membaca pesan dengan lebih otomatis dan oleh sebab itu lebih bisa fokus pada pemahaman (LaBerge dan Sa-muels, 1974; Perfetti, 1985). Salah satu tujuan dari CIRC adalah untuk jauh lebih meningkatkan kesempatan siswa untuk membaca dengan keras dan menerima umpan balik dari kegiatan membaca mereka dengan membuat para siswa membaca untuk teman satu timnya dan dengan melatih mereka mengenai bagaimana saling merespons kegiatan membaca mereka.
·      Kemampuan Memahami Bacaan
Beberapa kajian deskriptif mengenai pegajaran membaca di sekolah dasar telah mencatat adanya sebuah penekanan yang berlebihan pada kemampuan memahami secara interpretatif dan logis serta tidak adanya pengajaran yang bersifat eksplisit. Tujuan utama dari CIRC adalah menggunakan tim-tim kooperatif untuk membantu para siswa mempelajari kemampuan memahami bacaan yang dapat diaplikasikan secara luas.
·      Menulis dan Seni Berbahasa
Tujuan utama dari para pengembang program CIRC terhadap pelajaran menulis dan seni berbahasa adalah untuk merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi pendekatan proses menulis dan seni berbahasa yang akan banyak memanfaatkan kehadiran teman satu kelas. Tetapi keterlibatan teman jarang sekali menjadi kegiatan sentralnya. Dalam program CIRC, para siswa merencanakan, merevisi, dan menyunting karangan mereka dengan kolaborasi yang erat dengan teman satu tim mereka.
C.        Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Kolaboratif
1.      Kelebihan
a.    Siswa belajar bermusyawarah.
b.    Siswa belajar menghargai pendapat orang lain.
c.    Dapat mengembangkan cara berpikir kritis dan rasional.
d.   Dapat memupuk rasa kerja sama.
e.    Adanya persaingan yang sehat.
2.      Kelemahan
a.    Pendapat serta pertanyaan siswa dapat menyimpang dari pokok persoalan.
b.    Membutuhkan waktu cukup banyak.
c.    Adanya sifat-sifat pribadi yang ingin menonjolkan diri atau sebaliknya yang lemah merasa rendah diri dan selalu tergantung pada orang lain.
d.   Kebulatan atau kesimpulan bahan kadang sukar dicapai.

DAFTAR PUSTAKA


Slavin, Robert E,. 2005. Cooperative Learning. Bandung: Penerbit Nusa Media
Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ruhcitra. Pembelajaran Kolaboratif. 15 September 2015. https://ruhcitra.wordpress.com
            /2008/08/09/pembelajaran-kolaboratif/

Raharjo, Kurniawan Budi. Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning).
           
15 September 2015. https://kurniawanbudi04.wordpress.com/2013/05/27/model
            pembelajaran-kooperatif-cooperative-learning/

Asikbelajar.com. Makna Pembelajaran Kolaboratif. 15 September 2015
            http://www.asikbelajar.com/2013/06/makna-pembelajaran-kolaboratif.html


2 komentar:

  1. Dalam pembelajaran kolaboratif ada jenisnya yg anda jelaskan ditulisan di atas. Jenis-jenis pembelajaran kolaboratif yang mudah dan efektif itu yang mana? beri penjelasan. terimakasih..

    BalasHapus
  2. Untuk memilih jenis pembelajaran kolaboratif yang efektif biasanya disesuaikan dengan materi, kondisi siswa, dan media pembelajaran yang akan digunakan. Jadi intinya semua jenis pembelajaran kolaboratif itu efektif tergantung tepat apa tidaknya kita memilih jenis pembelajaran tersebut.

    BalasHapus