A. Pengertian Pembelajaran Kolaboratif
Dalam kamus besar bahasa Indonesia
(1994), kolaboratif dan kooperatif diartikan sama dengan bersifat kerjasama. Dalam
konteks pembelajaran Robert et. al mengatakan, pembelajaran kolaboratif
adalah pembelajaran yang asaskan koperatif. Sehingga untuk mewujudkan
pembelajaran kolaboratif diawali dengan membiasakan siswa dengan pembelajaran
kooperatif. Pembelajaran kooperatif yang didisain oleh guru, akan menjadi
awal perubahan di kelas. Jika siswa terbiasa bekerjasama, saling
tergantung satu dengan yang lain untuk memperoleh pengetahuan, maka siswa akan
berkembang menjadi siswa-siswa kolaboratif.
Schrage (1990) menyatakan
pembelajaran kolaboratif melebihi aktivitas bekerjasama (kooperatif) karena ia
melibatkan kerjasama hasil penemuan dan hasil yang didapatkan daripada sekedar
pembelajaran baru. Menurut Jonassen (1996), pembelajaran kolaboratif juga dapat
membantu siswa membina pengetahuan yang lebih bermakna jika dibandingkan dengan
pembelajaran secara individu. Selain itu, dengan menjalankan aktivitas dan
projek pembelajaran secara kolaboratif secara tidak langsung
kemahiran-kemahiran seperti bagaimana berkomunikasi akan dipelajari oleh
pelajar.
Kolaboratif dapat dilakukan di dalam
kumpulan yang besar maupun kumpulan yang terdiri dari empat atau lima orang
pelajar. Sedangkan pembelajaran kooperatif hanya kelompok kecil pelajar yang
bekerja dan memahami secara bersama. Jadi pembelajaran koperatif adalah
satu bentuk kolaboratif, yaitu kelompok besar belajar bersama untuk
mencapai hasil yang disepakati bersama (Johnson & Johnson, 1989).
Hasil penelitian menunjukkan keunggulan pembelajaran kolaboratif, diantaranya dapat meninggikan hasil belajar kelompok dan individu yang lebih mengarah pada metakognitif, munculnya ide–ide baru dan pendekatan penyelesaian masalah yang sebenarnya di tengahkan. Selain itu kelas yang dikelola secara kolaboratif lebih termotivasi, mempunyai sifat ingin tahu, ada perasaan membantu orang lain, berkompetisi secara sehat dan bekerja secara individu lebih terarah.
Hasil penelitian menunjukkan keunggulan pembelajaran kolaboratif, diantaranya dapat meninggikan hasil belajar kelompok dan individu yang lebih mengarah pada metakognitif, munculnya ide–ide baru dan pendekatan penyelesaian masalah yang sebenarnya di tengahkan. Selain itu kelas yang dikelola secara kolaboratif lebih termotivasi, mempunyai sifat ingin tahu, ada perasaan membantu orang lain, berkompetisi secara sehat dan bekerja secara individu lebih terarah.
B. Macam-macam Pembelajaran Kolaboratif
1. Jigsaw Procedure
(JP)
Metode
pengajaran dengan jigsaw dikembangkan oleh Elliot Aronson dan rekan-rekannya
(1978). Metode orisinilnya, secara singkat digambarkan dalam bagiam ini,
membutuhkan pengembangan yang ekstensif dari materi-materi khusus.
Jigsaw
dapat digunakan apabila materi yang akan dipelajari adalah yang berbentuk
narasi tertulis. Metode ini paling sesuai untuk subjek-subjek seperti pelajaran
ilmu sosial, literatur, sebagian pelajaran ilmu pengetahuan ilmiah, dan
bidang-bidang lainnya yang tujuan pembelajaran lebih kepada penguasaan konsep daripada penguasaan kemampuan.
Para
siswa tersebut diberikan tugas untuk membaca beberapa bab atau unit, dan
diberikan “lembar ahli” yang terdiri atas topik-topik yang berbeda yang harus
menjadi fokus perhatian masing-masing anggota tim saat mereka membaca. Setelah
semua anak selesai membaca, siswa-siswa dari tim yang berbeda yang mempunyai
fokus topik yang sama bertemu dalam “kelompok ahli” untuk mendiskusikan topik
mereka sekitar tiga puluh menit. Para ahli tersebut kemudian kembali kepada tim
mereka dan secara bergantian mengajari teman satu timnya mengenai topik mereka.
Yang terakhir adalah, para siswa menerima penilaian yang mencakup seluruh
topik, dan skor kuis akan menjadi skor tim. Skor-skor yang dikontribusikan para
siswa kepada timnya didasarkan pada sistem skor perkembangan individual, dan
para siswa yang skornya meraih nilai tertinggi akan menerima sertifikat atau
bentuk-bentuk rekognisi tim lainnya. Setiap siswa bergantung kepada teman satu
timnya untuk dapat memberikan informasi yang diperlukan supaya dapat berkinerja
baik pada saat penilaian.
2.
Student Team
Achievement Divisions (STAD)
STAD
(Student Team Achievement
Divisions) merupakan salah satu metode pembelajaran kolaboratif
yang paling sederhana, dan merupakan model yang paling baik untuk permulaan
bagi para guru yang baru menggunakan pendekatan kooperatif.
Langkah-langkah:
1. Membentuk kelompok yang anggotanya = 4
orang secara heterogen (campuran menurut, jenis kelamin, suku, dan lain-lain).
2. Guru menyajikan pelajaran.
3. Guru memberi tugas pada kelompok untuk
dikerjakan oleh anggota-anggota kelompok. Anggotanya yang sudah mengerti dapat
menjelaskan pada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu
mengerti.
4. Guru memberi kuis/pertanyaan kepada
seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu.
5. Memberi evaluasi.
6. Kesimpulan
3. Complex Instruction (CI)
Metode pembelajaran kolaboratif lainnya yang
didasarkan pada mencari keterangan dari investigasi disebut Complex Instruction (Cohen, 1986).
Bentuk yang paling banyak digunakan dalam pendekatan ini adalah Finding Out/ Descubrimiento, sebuah
program berorientasi penemuan untuk pelajaran Ilmu Pengetahuan Ilmiah di
sekolah dasar yang dikembangkan oleh Edward DeAvila dan Elizabeth Cohen. Metode
ini, menggunakan kelas dwi bahasa khusus, yang melibatkan para siswa dalam
kelompok kecil, diberikan kegiatan-kegiatan ilmiah yang diarahkan kepada
penemuan prinsip-prinsip magnetisme, suara, cahaya, dan sebagainya.
Materi-materi untuk program Finding Out/ Descubrimiento tersedia dalam
bahasa Inggris dan Spanyol, supaya siswa yang menguasai satu bahasa atau dua
bahasa dapat bekerja sama secara kooperatif. Sebagai tambahan terhadap
pembelajaran pelajaran Ilmu Pengetahuan Ilmiah, para siswa dalam Finding Out/ Descubrimiento
mengaplikasikan kemampuan matematika dalam situasi kehidupan nyata dan terlibat
dalam diskusi yang terfokus yang dapat membantu mengembangkan kemampuan bahasa
Inggris untuk anak-anak yang berbahasa Inggris terbatas.
4.
Team-Assisted
Individualization (TAI)
Dasar pemikirannya
adalah untuk mengadaptasi pengajaran terhadap perbedaan individual berkaitan dengan
kemampuan siswa maupun pencapaian prestasi siswa, dan jika memang demikian,
bagaimana hal ini bisa menjadi salah satu bentuk kontroversi yang paling lama
terjadi dalam bidang pendidikan di Amerika. Perlunya semacam individualisasi
telah dipandang penting khususnya dalam pelajaran matematika, di mana
pembelajaran dari tiap kemampuan yang diajarkan sebagian besar tergantung pada
penguasaan kemampuan yang dipersyaratkan.
Dasar pemikiran di
balik individualisasi pengajaran pelajaran matematika adalah bahwa para siswa
memasuki kelas dengan pengetahuan, kemampuan, dan motivasi yang sangat beragam.
Ketika guru menyampaikan sebuah pelajaran kepada bermacam-macam kelompok, besar
kemungkinan ada sebagian siswa yang tidak memiliki syarat kemampuan untuk
mempelajari pelajaran tersebut, dan akan gagal memperoleh manfaat dari metode
tersebut. Siswa lainnya mungkin malah sudah mengetahui materi itu, atau bisa
mempelajarinya dengan sangat cepat sehingga waktu mengajar yang dihabiskan bagi
mereka hanya membuang waktu.
Tinjauan terhadap
penelitian mengenai pengajaran individual dalam pelajaran matematika (Miller,
1976; Schoen, 1976) secara seragam mnyimpulkan bahwa pengajar individual tidak
lebih efektif dibandingkan dengan metode-metode tradisional dalam hal meningkatkan
pencapaian kemampuan para siswa. Dengan munculnya biaya dan kesulitan dalam
mengimplementasikan pengajaran individual, orang mungkin akan berargumentasi
bahwa pendekatan ini harusnya dihapuskan saja karena tidak bisa berjalan dan
tidak efektif.
Namun masalah
heterogenitas para siswa, yang menjadi tujuan dari dirancangnya metode
pengajaran individual ini belumlah terselesaikan. Bisa jadi, sebagai
konsekuensi kebijakan-kebijakan khusus seperti mainstreaming dan penghapusan perbedaan, kelas-kelas yang akan menjadi
semakin heterogen, dan bukannya sebaliknya. Kajian-kajian mengenai
pengelompokkan para siswa menemukan bahwa hal ini hanya memberikan manfaat yang
kecil dalam pencapaian kemampuan para siswa (Slavin, 1987)
Matematika TAI
diprakarsai sebagai usaha merancang sebuah bentuk pengajaran individual yang
bisa menyelesaikan masalah-masalah yang membuat metode pengajaran individual
menjadi tidak efektif. Dengan membuat para siswa bekerja dalam tim-tim
pembelajaran kooperatif dan mengemban tanggung jawab mengelola dan memeriksa
secara rutin, saling membantu satu sama lain dalam menghadapi masalah, dan
saling memberi dorongan untuk maju, maka guru dapat membebaskan diri mereka
dari memberikan pengajaran langsung kepada sekelompok kecil siswa yang homogen
yang berasal dari tim-tim yang heterogen.
TAI dirancang untuk
memuaskann kriteria berikut ini untuk menyelesaikan masalah-masalah teoretis
dan praktis dari sistem pengajaran individual:
1. Dapat meminimalisir keterlibatan guru
dalam pemeriksaan dan pengelolaan rutin.
2. Guru setidaknya akan menghabiskan
separuh dari waktunya untuk mengajar kelompok-kelompok kecil.
3. Operasional program tersebut akan
sedemikian sederhananya sehingga para siswa di kelas tiga ke atas dapat
melakukannya.
4. Para siswa akan termotivasi untuk
mempelajari materi-materi yang diberikan dengan cepat dan akurat, dan tidak
akan bisa berbuat curang atau menemukan jalan pintas.
5. Tersedianya banyak cara pengecekan
penguasaan supaya para siswa jarang menghabiskan waktu mempelajari kembali
materi yang sudah mereka kuasai atau menghadapi kesulitan serius yang
membutuhkan bantuan guru.
6. Para siswa akan dapat melakukan
pengecekan satu sama lain, sekalipun bila siswa yang mengecek kemampuannya ada
di bawah siswa yang dicek dalam rangkaian pengajaran, dan prosedur pengecekan
akan cukup sederhana dan tidak mengganggu pengecek.
7. Programnya mudah dipelajari oleh guru
maupun siswa, tidak mahal, fleksibel, dan tidak membutuhkan guru tambahan
ataupun tim guru.
8. Dengan membuat para siswa bekerja dalam
kelompol-kelompok kooperatif, dengan status yang sejajar, program ini akan
membangun kondisi untuk terbentuknya sikap-sikap positif terhadap
siswa-siswa mainstream yang cacat secara akademik dan diantara para siswa dari
latar belakang ras atau etnik berbeda.
5. Cooperative Learning Stuctures
(CLS)
Dalam pembelajaran ini setiap kelompok dibentuk dengan anggota dua
siswa (berpasangan). Seorang siswa bertindak sebagai tutor dan yang lain menjadi tutee. Tutor mengajukan pertanyaan yang
harus dijawab oleh tutee.
Bila jawaban tutee benar,
ia memperoleh poin atau skor yang telah ditetapkan terlebih dulu. Dalam selang
waktu yang juga telah ditetapkan sebelumnya, kedua siswa yang saling
berpasangan itu berganti peran.
6. Learning Together (LT)
Diantara metode-metode
pembelajaran kooperatif yang paling banyak digunakan adalah metode yang
dikembangkan dan diteliti oleh David dan Roger Johnson beserta rekan-rekan
mereka di University of Minnesota. Metode-metode mereka menekankan pada empat
unsur (Johnson, Johnson, Holubec, dan Roy, 1984), antara lain:
1.
Interaksi
tatap muka: Para siswa belajar dalam kelompok-kelompok yang beranggotakan
emapat sampai lima orang.
2.
Interdependensi
positif: Para siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan kelompok.
3.
Tanggung jawab
individual: Para siswa harus memperlihatkan bahwa mereka secara individual
telah menguasai materinya.
4.
Kemampuan-kemampuan
interpersonal dan kelompok kecil: Para siswa diajari mengenai sarana-sarana yang
efektif untuk bekerja sama dan mendiskusikan seberapa baik kelompok mereka
bekerja dalam mencapai tujuan mereka.
Dalam hal
penggunaan kelompok pembelajran heterogen dan penekanan terhadap
interdependensi positif, serta tanggung jawab individual metode-metode Johnson
ini sama dengan STAD. Akan tetapi, mereka juga menyoroti perihal pembangunan
kelompok dan menilai sendiri kinerja kelompok, dan merekomendasikan penggunaan
penilaian tim ketimbang pemberian sertifkat atau bentuk rekognisi lainnya.
Penelitian mengenai metode-metode ini telah
menemukan bahwa untuk penghargaan yang diberikan kepada kelompok didasarkan
pada pembelajaran individual setiap anggota kelompok, mereka meningkatkan
pencapaian siswa leboh dari metode-metode individualistik dan memiliki pengaruh
positif pada hasil yang dikeluarkan, seperti pada masalah hubungan ras dan
penerimaan teman sekelas yang memiliki masalah cacat akademik.
Johnson
bersaudara dan rekan-rekannya juga telah mengembangkan dan meneliti
metode-metode untuk melibatkan siswa dalam “kontroversi kooperatif”. Para siswa
dalam kelompok-kelompok yang beranggotakan empat orang diberikan materi
pelajaran mengenai sebuah isu yang kontroversial, seperti apakah perburuan
serigala harus diizinkan di bagian utara Minnesota. Dua anggota kelompok
mengerjakan satu sisi dari isu tersebut, sedangkan dua lainnya mengerjakan sisi
lainnya. Kemudian mereka bertukar peran dan memperdebatkan sisi yang
berlawanan. Akhirnya seluruh kelas mencapai kesepakatan. Para siswa harus mengikuti
tujuh aturan saat bekerja (Smith, Johnson 1981):
1)
Saya kritis
terhadap gagasan, bukan orang.
2)
Saya ingat
bahwa kami semua melakukan hal ini bersama.
3)
Saya mendorong
semua orang untuk ikut berpartisipasi.
4)
Saya
mendengarkan gagasan yang dilontarkan setiap orang, sekalipun saya tidak setuju
dengan mereka.
5)
Saya mengulang
kembali apa yang dikatakan oleh seseorang apabila memang tidak jeals.
6)
Saya mencoba
memahami kedua belah sisi dari isu tersebut.
7)
Pertama-tama
saya akan mengeluarkan semua gagasan, baru kemudian saya kumpulkan jadi satu
7.
Teams-Games-Tournament (TGT)
Secara
umum TGT sama saja dengan STAD, kecuali satu hal: TGT menggunakan turnamen
akademik, dan menggunakan kuis-kuis dan sistem skor kemajuan individu, di mana
para siswa berlomba sebagai wakil tim mereka dengan anggota tim lain yang
kinerja akademik sebelumnya setara seperti mereka. TGT sangat sering digunakan
dengan STAD, dengan menambahkan turnamen tertentu pada struktur STAD yang
biasanya, Deskripsi dan komponen-komponen TGT adalah sebagai berikut:
1. Presentasi di kelas
2. Tim
3. Game, gamenya terdiri atas
pertanyaan-pertanyaan yang kontennya relevan
yang dirancang untuk menguji pengetahuan siswa yang diperolehnya dari
presentasi di kelas dan pelaksanaan kerja tim.
4. Turnamen, turnamen adalah sebuah
struktur di mana game berlangsung.
5. Rekognisi tim, pemberian penghargaan
untuk pencapaian sampai pada tim sangat baik atau tim super.
8. Group Investigation (GI)
Pembelajaran dengan metode group investigation dimulai
dengan pembagian kelompok. Selanjutnya guru dan peserta didik memilih
topik-topik tertentu dengan permasalahan-permasalahan yang dapat dikembangkan
dari topik-topik itu. Sesudah topik dan permasalahannya disepakati, peserta
didik dan guru menentukan metode penelitian yang dikembangkan untuk memecahkan
masalah.
Setiap kelompok bekerja berdasarkan metode
investigasi yang telah mereka rumuskan. Aktivitas tersebut merupakan kegiatan
sistemik keilmuan mulai dari mengumpulkan data, analisis data, sintesis, hingga
menarik kesimpulan.
Langkah berikutnya adalah presentasi hasil oleh
masing-masing kelompok. Pada tahap ini diharapkan terjadi intersubjektif dan
objektivikasi pengetahuan yang telah dibangun suatu kelompok. Berbagai
perspektif diharapkan dapat dikembangkan oleh seluruh kelas atas hasil yang
dipresentasikan oleh suatu kelompok. Seharusnya di akhir pembelajaran dilakukan
evaluasi. Evaluasi dapat memasukkan assesmen individual atau kelompok.
9.
Academic-Constructive
Controversy
(AC)
Setiap
anggota kelompok dituntut kemampuannya untuk berada dalam situasi konflik
intelektual yang dikembangkan berdasarkan hasil belajar masing-masing, baik
bersama anggota sekelompok maupun dengan anggota kelompok lain. Kegiatan
pembelajaran ini mengutamakan pencapaian dan pengembangan kualitas pemecahan
masalah, pemikiran kritis, pertimbangan, hubungan antarpribadi, kesehatan
psikis dan keselarasan. Penilaian didasarkan pada kemampuan setiap anggota
maupun kelompok mempertahankan posisi yang dipilihnya.
10. Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC)
Walaupun metode pembelajaran telah
digunakan oleh berbagai mata pelajaran, namun terdapat dua mata pelajaran
sekolah dasar yang tidak tersentuh oleh penelitian Cooperative Integrated
Reading and Composition (CIRC) ini, mata pelajaran tersebut ialah membaca dan
menulis, sebuah program yang komprehensif untuk mengajari pelajaran membaca,
menulis, dan seni berbahasa para kelas yang lebih tinggi di sekolah dasar.
Pendekatan pembelajaran kooperatif mengikuti penemuan pada penelitian
sebelumnya, menekankan tujuan-tujuan kelompok dan tanggug jawab individual.
Penelitian terhadap TAI, juga telah menunjukkan bahwa kombinasi yang
menggunakan kelompok pengajaran homogen dan kelompok heterogen bisa bersifat
praktis sekaligus juga efektif.
Sebagai
tambahan, pengembangan CIRC dihasilkan dari sebuah analisis masalah-masalah
tradisional dalam pengajaran pelajaran membaca, menulis, seni berbahasa.
Isu-isu prinsipil yang ditujukan dalam proses pengembangan dibahas sebagai
berikut:
·
Tindak Lanjut
Sebuah
fitur yang bersifat hampir selalu universal dari pengajaran membaca adalah
penggunaan kelompok membaca yang terdiri atas para siswa dengan tingkat kinerja
yang sama (Hiebert, 1983). Akan tetapi penggunaan kelompok membaca menimbulkan
sebuah masalah: Apabila guru sedang mengajarkan satu kelompok membaca,
siswa-siswa lain di dalam kelas tersebut harus diberikan kegiatan-kegiatan yang
dapat mereka selesaikan dengan sedikit pengarahan guru, ini disebut sebagai
penelitian “tindak lanjut”.
·
Membaca Lisan
Membaca
dengan keras merupakan bagian yang menjadi standar dari sebagian besar
program-program membaca. Penelitian terhadap membaca lisan mengindikasikan
bahwa ini memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan pesan dan pemahaman
(Dahl, 1979; Samuels, 1979), barangkali karena hal ini dapat meningkatkan
kemampuan mereka untuk membaca pesan dengan lebih otomatis dan oleh sebab itu
lebih bisa fokus pada pemahaman (LaBerge dan Sa-muels, 1974; Perfetti, 1985).
Salah satu tujuan dari CIRC adalah untuk jauh lebih meningkatkan kesempatan
siswa untuk membaca dengan keras dan menerima umpan balik dari kegiatan membaca
mereka dengan membuat para siswa membaca untuk teman satu timnya dan dengan
melatih mereka mengenai bagaimana saling merespons kegiatan membaca mereka.
·
Kemampuan
Memahami Bacaan
Beberapa kajian deskriptif mengenai pegajaran
membaca di sekolah dasar telah mencatat adanya sebuah penekanan yang berlebihan
pada kemampuan memahami secara interpretatif dan logis serta tidak adanya
pengajaran yang bersifat eksplisit. Tujuan utama dari CIRC adalah menggunakan
tim-tim kooperatif untuk membantu para siswa mempelajari kemampuan memahami
bacaan yang dapat diaplikasikan secara luas.
·
Menulis dan
Seni Berbahasa
Tujuan utama dari para pengembang program CIRC
terhadap pelajaran menulis dan seni berbahasa adalah untuk merancang,
mengimplementasikan, dan mengevaluasi pendekatan proses menulis dan seni
berbahasa yang akan banyak memanfaatkan kehadiran teman satu kelas. Tetapi
keterlibatan teman jarang sekali menjadi kegiatan sentralnya. Dalam program
CIRC, para siswa merencanakan, merevisi, dan menyunting karangan mereka dengan
kolaborasi yang erat dengan teman satu tim mereka.
C. Kelebihan
dan Kekurangan Pembelajaran Kolaboratif
1.
Kelebihan
a. Siswa belajar bermusyawarah.
b. Siswa belajar menghargai pendapat orang lain.
c. Dapat mengembangkan cara berpikir kritis dan rasional.
d. Dapat memupuk rasa kerja sama.
e. Adanya persaingan yang sehat.
2.
Kelemahan
a.
Pendapat serta
pertanyaan siswa dapat menyimpang dari pokok persoalan.
b.
Membutuhkan
waktu cukup banyak.
c.
Adanya
sifat-sifat pribadi yang ingin menonjolkan diri atau sebaliknya yang lemah
merasa rendah diri dan selalu tergantung pada orang lain.
d.
Kebulatan atau
kesimpulan bahan kadang sukar dicapai.
Slavin, Robert E,. 2005. Cooperative Learning. Bandung: Penerbit Nusa Media
Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ruhcitra. Pembelajaran Kolaboratif. 15 September 2015. https://ruhcitra.wordpress.com
/2008/08/09/pembelajaran-kolaboratif/
Raharjo, Kurniawan Budi. Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning).
15 September 2015. https://kurniawanbudi04.wordpress.com/2013/05/27/model
pembelajaran-kooperatif-cooperative-learning/
Asikbelajar.com. Makna Pembelajaran Kolaboratif. 15 September 2015
http://www.asikbelajar.com/2013/06/makna-pembelajaran-kolaboratif.html
Dalam pembelajaran kolaboratif ada jenisnya yg anda jelaskan ditulisan di atas. Jenis-jenis pembelajaran kolaboratif yang mudah dan efektif itu yang mana? beri penjelasan. terimakasih..
BalasHapusUntuk memilih jenis pembelajaran kolaboratif yang efektif biasanya disesuaikan dengan materi, kondisi siswa, dan media pembelajaran yang akan digunakan. Jadi intinya semua jenis pembelajaran kolaboratif itu efektif tergantung tepat apa tidaknya kita memilih jenis pembelajaran tersebut.
BalasHapus